Satu Bintang Di Ujung Cahaya

Cahaya rembulan tampak sempurna memendarkan cahayanya saat ini.
Cakrawala yang sudah terbalut kelam bergerak perlahan mengikuti hukum alam. Aku sandarkan tubuhku di tegaknya penyangga gazebo teras rumahku. Kupandangi satu persatu kelip kecil yang bertebaran di atap bumi melewati ruang kosong yang bermilyar jaraknya.  Meski jarum pendek jam dinding sudah bergerak mendekati angka dua belas dan jarum panjang di angka enam, tak kunjung juga bisa kupejamkan mata ini. Ada hal yang begitu mengusik hati dan pikiranku. Aku buka satu per satu dalam memoriku file cerita yang terlewat seharian ini.
 Hari ini aku tidak mengajar penuh, beberapa jam kosong aku habiskan untuk membantu petugas perpustakaan.  Seperti biasa aku duduk di deretan kursi belakang, dengan ritme teratur aku tuangkan cap bulat kayu label sekolahku di halaman tertentu setiap buku baru. Beberapa siswa bahkan tidak menyapaku karena terlalu asyik membaca di sudut ruang itu.
 Oh iya aku adalah guru fisika yang baru dua puluh dua bulan mengajar di sekolah ini. Anak anak sering memanggilku Bu Rini. Jabatan sebagai wali kelaspun belum lama aku terima.  Menurut beberapa cerita kawan, sekolah ini memiliki input siswa menengah kebawah dalam kemampuan akademiknya. Selain itu latar belakang ekonomi yang sebagian besar sangat kurang, patut untuk mendapatkan bantuan. Ditambah dengan  tingkat pendidikan orangtua yang kurang dan yang lebih mengagetkan sepertiga dari total jumlah siswa dibesarkan di lingkungan yang abu-abu. 
Tanpa aku sadari kedatangannya, tiba-tiba seorang siswa menarik kursi yang ada di depanku, duduk dan tertunduk lesu. Rambutnya yang berombak, garis-garis wajahnya yang datar, pandangan matanya yang sendu menghentikan sejenak pekerjaanku.  Aku tatap bola matanya yang menyimpan banyak kesedihan dan tumpukan pilu dari prediksi kacamataku.
Ferdiyan, nama anak lelaki itu, dia siswa kelas 9D. Telapak tangannya berkali-kali mengusap pergelangan tangan kanannya, masih sambil menunduk. 
“Kenapa?” aku pecahkan keheningan diantara kami. Lelaki yang sedang menginjak masa remaja ini masih juga mengatupkan kedua bibirnya. Aku biarkan detik jam dinding berlalu, aku coba dengan sepenuh perasaan kutawarkan bantuanku.
 “ Ceritakan saja….mungkin Ibu  bisa membantu”. 
Sesirat cairan bening merata menutup kornea matanya, pelupuknya berkedip berulang, dan pelan buliran cairan itu membasahi pipinya. 
“ Kangen ibu saya”, pita suara di tenggorokannya tak bergetar sempurna, nampak berat  tertahan di rongga dada. 
“ Lho? Ibu pergi?” kataku setengah menebak meskipun di sisi lain aku tersentak  mendengarnya, namun aku coba tutupi . 
Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku letakkan telapak tanganku dibahunya. Aku usap pelan.
  “Ibu di mana?”, setengah berbisik aku lontarkan kalimat itu.
 “Kalimantan…., Ayah dan Ibu sudah berpisah, saya dan ayah di Magelang. Adik dengan ibu di Kalimantan. Saya betul-betul tidak bisa belajar dan rasanya malas untuk berangkat ke sekolah saat kangen pada ibu saya.  Bagaimana bisa ayah dan ibu memutuskan sesuatu tanpa memikirkan nasib saya dan adik? “, tanyanya dengan kepalan tangan kanannya nampak geram.
“ Mereka orangtua yang egois” , nada emosionalnya sangat bisa aku baca.
Masyaalloh….baur antara iba, sedih, empati, memenuhi seluruh ruang kosong dalam hati dan pikiranku. Tanpa terasa, dengan sekali kedip saja cairan hangat pasti akan tumpah dari  kedua lensa mataku.  Aku sekuat tenaga menahannya, aku harus kuat, aku tidak mau dia larut dalam kesedihannya.  Aku susun batang-batang kekuatan untuk bisa melipur laranya. 
“ Ibu  paham dan bisa merasakan ”, pelan aku ucapkan sambil memandangi matanya.
 “ Inilah hidup Ferdiyan ” , ucapku pelan sambil kukerahkan sisa-sisa energi yang masih aku miliki.
“ Adakalanya tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Tentu ayah dan ibu benar-benar sudah tidak ada pilihan, dan ini adalah jalan yang terbaik yang mereka putuskan. Bisa jadi kalau mereka bertahan, aura dalam rumah setiap hari akan terasa panas, karena ayah dan ibu tidak seia sekata lagi dalam mengarunginya.  Kata-kata kasar mungkin akan sering tertangkap di gendang telinga adik dan kamu. Tentu ini tidak nyaman. Ayah ibu sangat menjaga perasaan kalian. Kasihan kalau  adikmu yang masih sekecil itu harus selalu melihat ayah dan ibumu bertengkar. Yakinkan pada dirimu bahwa Ibu disana pun selalu mendoakanmu. Kamu harus bisa menunjukkan pada ayah ibu kelak, bahwa  kamu  bisa berhasil “.
“ Setidaknya mereka akan malu pada dirimu, karena mereka tidak mengemban amanah Tuhan dengan penuh kesungguhan, namun kamu bisa menunjukkan pada mereka bahwa kamu bisa melewatinya.  Dan siapa tahu itu bisa menyatukan mereka kembali, yakinlah kesabaranmu akan indah pada waktunya. Kamu harus kuat, kamu adalah anak laki-laki yang kelak juga harus bisa membantu ibu, menyenangkan hati ibu dan pastikan ibu melihat cerah masa depanmu.”
Mungkin ini adalah audiosonik dengan frekuensi terendah yang pernah aku keluarkan.  Aku tatap matanya beberapa waktu, kesedihan sudah tidak melingkupi penuh di garis-garis wajahnya. Nampaknya sudah sedikit ada rasa lega yang ia rasakan.  Dering bel memecahkan aksi diam yang masih ia lakukan. 
“Tetaplah disini, tenangkan hati, barang satu jam pelajaran bisa kamu lewati untuk kita berdiskusi”, begitu pintaku.  Sambil berdiri aku yakinkan bahwa aku akan mengijinkan pada guru yang akan mengajar di waktu berikutnya.  Dia anggukkan pelan. 
Dan sejak saat itu, dia melewatkan detik demi detik dalam kehidupannya dengan penuh kepasrahan pada Tuhan. Terkadang jika kepalanya sudah terlalu penuh dengan permasalahan maka bisa dipastikan dia akan mencariku, kemudian berbincang melepaskan semua kepenatan hidupnya. Dan itu membuatnya menjadi segar dan berani menghitung kembali jumlah detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun yang masih harus dijalaninya.
Lima tahun berlalu dengan singkat, tanpa sengaja kami bertemu di parkiran sebuah Mall, yang kini adalah satu-satunya Mall terbesar di Magelang.  Saat aku sedang berpikir keras mengatur motorku untuk bisa keluar dari barisan puluhan motor lain, tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri dan memanggilku.
 “Bu Rini…, masih ingat saya?” sambil ia ulurkan tangannya.  Aku tersenyum, bagian otakku yang bertugas mengingat tidak perlu bekerja keras menebaknya. 
“ Apa kabar Ferdiyan? “, aku tangkap uluran tangannya erat, serasa seluruh memoriku kembali ke masa silam, saat ia duduk di depanku.  Kali ini aku lihat gurat wajahnya sudah tidak menampakkan kesedihan seperti dahulu.
 “Ibu masih ingat saya ? ”, katanya sekali lagi memastikan.  Tak pernah berubah gelagatnya saat bicara, masih Ferdiyan yang dulu.
“ He…he…he, mari kita duduk disana “, pintaku.  Aku parkirkan kembali motorku. 
“Alhamdulillah saya sudah bekerja di New Armada Bu “. New Armada adalah sebuah perusahaan otomotif yang sangat terkenal di kotaku. Begitulah dia mengawali ceritanya saat kami duduk di cetakan semen pembatas lajur parkiran di Mall itu. 
‘Heeuumm… siiip “, kataku. 
“Gimana, sudah menikah atau belum? “, candaku.
Sambil tersenyum malu, dia jawab, “ Belum memikirkan itu bu “.  
“ Bagaimana kabar ibumu ? “, aku beranikan tanya padanya.
“ Ibu dan adik sekarang sudah tinggal di Magelang bersama kami “, jelasnya.
“ Subhanalloh…. “, satu kalimat meluncur dengan ringannya dari mulutku. Terhenyak sesaat aku akan jawabannya yang sama sekali tidak aku duga. 
 “ Terimakasih, Bu Rini selalu menyemangati saya, hingga saya bisa bertahan dan menyelesaikan jenjang SMP saya,”  panjang lebar ia ceritakan perjalanan hidupnya. 
“ Waktu itu saya ingin segera bekerja, dan menyusul ibu di Kalimantan.  Pernah terbersit saya akan drop out saja, supaya ayah dan ibu tahu akibat dari apa yang mereka putuskan.  Saya ingin balas dendam saat itu dan meminta perhatian keduanya.  Namun saya ingat nasehat Bu Rini.  Saya urungkan niat itu. Saat itu ayah menginginkan saya masuk SMA, namun karena saya punya obsesi untuk segera bekerja, saya nekat mendaftar di STM dan diterima.  Tiga tahun saya lalui dengan tidak mudah, namun saya mencoba untuk bertahan, meski di sela-sela itu sering berdebat dan bertengkar dengan ayah.  Alhamdulillah tiga tahun bisa saya lewati meski dengan prestasi yang tidak tentu “, jelasnya dengan mata menerawang atap parkiran.
“ Kemudian ada rekan ayah yang mengajak untuk mendaftar bekerja di Armada.  Tanpa tes yang berarti saya pun diterima di bagian perawatan mesin “.
“ Tiga bulan saya kumpulkan hasil keringat  menjadi karyawan di Armada,  saya sampaikan tekad saya pada ayah, untuk bisa menjemput Ibu dan adik .  Ayah  malah terharu dan memeluk saya bu, bahkan meminta maaf.  Sejak saat itu kami sudah kembali bersama bu “, tak kusadari tetesan demi tetesan air mataku mengalir tanpa bisa aku hentikan barang sebulirpun.  Aku sangat terharu.  Aku hanya bisa berkata, itu buah kesabaranmu Ferdiyan.  Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Aku bangga padamu Ferdiyan. 

Bahkan tidak hanya sampai disitu, ketika Tuhan sudah memberikan nikmat pada hambaNya dan dia bersyukur maka akan ditambahkan lagi nikmat yang lain. Begitulah jalan hidup Ferdiyan,  sekarang dia disekolahkan oleh perusahaannya di Jepang 6 bulan.  Subhanalloh…. Luar biasa skenarioMu Ya Tuhan… kisah ini mengakhiri lamunanku di teras gazeboku.  Hawa dingin yang sedari tadi tak kurasa kini sudah menebal di kulitku. 

Terimakasih Tuhan, ….Kau selamatkan satu bintangku, Maret 2015 (Penulis : Rini Eka Handayani, guru SMPN 1 Magelang)